Sumpah Pemuda, salah satu titik balik perjalanan bangsa Indonesia menuju Kemerdekaan RI. Puluhan tahun sebelum merdeka, pemuda Indonesia masih terpecah belah dan belum bersatu melawan musuh. Namun 92 tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, berlangsung Kongres Pemuda II yang memicu lahirnya Sumpah Pemuda. Momentum ini melibatkan para pemuda dari berbagai etnis di Nusantara, termasuk Tionghoa. “Yang cocok disoroti adalah peran dari elemen bangsa yang selama ini tidak banyak yang tahu, terutama (peran) etnis Tionghoa,” kata Hendra Kurniawan, Dosen Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dihubungi Kompas.com, Rabu (28/10/2020), setidaknya ada 3 peran penting etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda dan menuju kemerdekaan RI.
- Tempat deklarasi Sumpah Pemuda, rumah kos Sie Kong Lian
Hendra menerangkan, rumah yang dijadikan lokasi pembacaan ikrar Sumpah Pemuda awalnya adalah tempat kost para pemuda. Rumah tersebut juga dijadikan salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928. Dirangkum dari laman Museum Sumpah Pemuda, Kemendikbud, mahasiswa yang pernah tinggal di sana antara lain Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana. Sejak 1927, rumah tersebut digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. “Sebenarnya kepemilikannya berganti-ganti. Namun saat rumah itu dijadikan rumah kost bagi para pemuda yang menggalang Sumpah Pemuda, rumah itu dimiliki oleh seorang Tionghoa,” kata Hendra. Hendra mengatakan, catatan sejarah sebelumnya menuliskan bahwa rumah ini dimiliki oleh Sie Kong Liong. “Tapi kemudian ada ralat dari keluarganya. Nama yang benar ternyata Sie Kong Lian,” jelas dia.

Museum Sumpah Pemuda, tampak depan. Rumah ini adalah rumah kos yang dipakai para pemuda untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda. Rumah ini dulu milik Sie Kong Lian.(Laman Museum Sumpah Pemuda, Kemdikbud) Ralat ini pun baru dilakukan pada 2018, ketika cucu dan cicit dari Sie Kong Lian mencari informasi tentang kakeknya. Setelah ditelusuri, informasi tentang pemilik rumah yang menjadi cikal bakal lahirnya Sumpah Pemuda ini sangat terbatas.
Foto-fotonya pun tidak ada. Bahkan Museum Sumpah Pemuda tidak memiliki foto Sie Kong Lian ini,” paparnya. Pihak keluarga kemudian menyampaikan informasi kepada pihak Museum, bahwa rumah itu memang milik Sie Kong Lian. “Setelah dicek di pertanahan, atas namanya memang diwariskan kepada anaknya Sie Kong Lian,” Rumah yang dikenal dengan nama Gedung Kramat 106 kini sudah dihibahkan kepada negara dan dijadikan Museum Sumpah Pemuda.
- Saksi ikrar Sumpah Pemuda
Peran menarik yang penting untuk diungkap, menurut Hendra adalah ada beberapa orang Tionghoa yang ikut hadir dan menjadi saksi dalam pembacaan ikrar Sumpah Pemuda. “Kalau saya tidak keliru, ada empat orang Tionghoa yang hadir sebagai pengamat (Sumpah Pemuda). Dan ada satu lagi (orang Tionghoa) yang mualaf, dia menjadi anggota salah satu perkumpulan pemuda yang hadir di sana,” jelasnya. 5 pemuda Tionghoa itu berasal dari dua organisasi kedaerahan, Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond. Anggota Jong Sumatranen Bond yang ikut hadir adalah Oey Kay Siang, Liauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie, Kwee Thiam Hong (Daud Budiman). Sementara Djohan Mohammad Tjhai berasal dari Jong Islamieten Bond. “Djohan Mohammad Tjhai ini datang sebagai perwakilan salah satu Jong (Islamieten Bond),” imbuhnya. Dijelaskan Hendra, sebetulnya organisasi kedaerahan bukan cuma didirikan oleh pemuda-pemuda yang ada di Nusantara. Namun pemuda Tionghoa juga membentuk Jong Chinesse Beweging. “Tapi saat Sumpah Pemuda, perkumpulan pemuda Tionghoa ini tidak mengirimkan perwakilannya secara resmi ke sana,” ujarnya. “Tapi ada empat orang Tionghoa yang hadir atas nama pribadi.”
- Rekaman lagu Indonesia Raya
Etnis Tionghoa juga berperan dalam rekaman lagu Indonesia Raya yang dimainkan oleh Wage Rudolf Supratman. Seperti kita tahu, W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Karena W.R. Supratman juga seorang wartawan Surat Kabar Sin Po, dia memiliki ide untuk menerbitkan lirik lagu Indonesia Raya. “Satu-satunya surat kabar yang mau menerbitkan lagu Indoensia Raya hanya Sin Po. Waktu itu judulnya (lagu) Indonesia,” kata Hendra. Kemudian W.R Supratman ingin merekam lagunya. Dan studio rekaman yang bersedia melakukannya adalah studio milik Tionghoa, Yo Kim Tjan. Ada 2 versi rekaman lagu Indonesia Raya yakni lagu Indonesia Raya asli W.R Supratman dan versi keroncong. W.R Supratman menawarkan merekam lagu ke tiga studio rekaman. Dua studio menolak dan hanya rumah studio milik Yo Kim Tjan yang menerima W.R Supratman melakukan rekaman. “Karena saat itu memang takut dengan situasinya,” ucapnya. Rekaman lagu Indonesia Raya dilakukan pada 1927, setahun sebelum ikrar Sumpah Pemuda dibacakan.

Pelajaran untuk kita Berangkat dari keberagaman yang muncul hingga melahirkan Sumpah Pemuda, rasa kebangsaan yang muncul sebelum Indonesia merdeka itu sudah disepakati. Oleh sebab itu, Hendra mengatakan, bagaimana kebangsaan ini terbentuk tidak lepas dari multikultural.
Saya kira, informasi tentang Tionghoa ini menambah keberagaman dan bahwa nasionalisme kita dibentuk karena multikulturalisme,” kata dia. “Saya pikir ini poin penting yang harus disadari oleh generasi sekarang. Nasionalisme memang satu, tapi awalnya berangkat dari keberagaman,” tutupnya.
Sumber : Kompas.com