Sejumlah pengamat menilai pembukaan investasi pada sektor Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) atau minuman keras (miras) atau beralkohol menimbulkan dampak positif dan negatif. Pembukaan pintu investasi minuman beralkohol itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Pengamat ekonomi Universitas Padjadjaran Aldrin Herwany menilai legalisasi investasi minuman beralkohol dapat menciptakan lapangan kerja. Masuknya investasi tersebut dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah berbasis pariwisata asal tidak melanggar etika dan kearifan lokal.
“Jadi, silahkan saja, jika itu bagus untuk masyarakat setempat dan mendapatkan benefit membuka lapangan kerja,” katanya dikutip dari Antara, Senin (1/3).
Menurutnya investasi ini hanya berlaku efektif bagi industri minuman beralkohol di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara yang notabene banyak dikunjungi wisatawan. Namun, ia menolak perluasan investasi ke daerah lainnya apabila terbukti efektif.
“Jangan karena melihat prospeknya bagus setahun atau dua tahun ke depan, nanti malah ekspansi juga ke daerah lain. Nah, ini kami tidak setuju,” ujarnya.
Dalam jangka menengah, ia optimis kebijakan ini dapat meningkatkan kembali kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, terutama empat daerah yang mempunyai potensi kedatangan turis asing tersebut. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatur perizinan investasi bagi industri minuman beralkohol di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
Berdasarkan Perpres 10/2021, industri minuman beralkohol dapat memperoleh investasi dari berbagai sumber, baik investor asing maupun investor domestik. Dengan izin tersebut, koperasi hingga UMKM juga dapat menyuntikkan investasi kepada industri minuman beralkohol.
Minuman Beralkohol Dapat Penolakan Masyarakat
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan investasi minuman beralkohol tersebut berpotensi mendapatkan penolakan atau resistensi dari sejumlah golongan masyarakat. Kondisi tersebut, kata dia, bisa menjadi disinsentif bagi investor yang hendak menanamkan modalnya ke industri tersebut. Ujungnya, ia memperkirakan investor bisa ragu untuk berinvestasi pada industri minuman beralkohol di Indonesia.
“Biasanya ada resistensi baik dari DPR kemudian masyarakat juga melakukan penolakan. Kalau demikian tentu ada potensi investasi ini tidak jalan di lapangan, akan ada hambatan besar ketika mulai jalan, dan ada potensi kebijakan berubah karena dorongan masyarakat yang tidak setuju terhadap investasi ini,” katanya.
Ia juga menilai fokus investasi minuman beralkohol pada empat wilayah kurang relevan. Alasannya, meskipun banyak wisatawan domestik dan asing yang mendatangi daerah pariwisata tersebut, namun pasokan minuman beralkoholnya sudah tercukupi.
Di lain pihak, dampak pada ekonomi daerah diprediksi tidak signifikan lantaran kekuatan ekonomi empat daerah tersebut yakni dari pariwisata bukan minuman beralkohol. Oleh sebab itu, ia menilai sebaiknya pemerintah meningkatkan pengaturan dan pengawasan distribusi minuman beralkohol sebelum membuka pintu lebar bagi investasinya.
“Kalau kebijakan ini dilakukan tanpa diimbangi dengan kebijakan pengawasan minuman beralkohol ilegal ini yang jadi masalah karena beberapa kali ditemukan minuman alkohol ilegal ini makan banyak korban, tidak punya izin resmi atau dicampur dengan beberapa jenis. Pengawasan pada hal ini yang harus ditingkatkan,” tuturnya.
Sumber Berita : CNNIndonesia.com